Mentari
mulai kembali kepada peraduanya. Senja yang hening menemani jalan Mita menuju
tempat ia kos di Malang. Mahasiswi jurusan pendidikan agama di salah satu
perguruan tinggi swasta itu memang selalu pulang dengan berjalan kaki dari
kampus tempat ia menuntut ilmu.
Sesampainya
di kamar kos Mita segera merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur sambil
memeriksa beberapa pesan di handfond miliknya. Matanya tertuju pada sebuah
pesan “hai mit, sedang apa?kapan kamu pulang?”. Sebuah pesan dari Adit salah
seorang sahabatnya itu mampu memecah sejenak fikirannya.
Dengan
segera ia membalas pesan itu “lagi tiduran aja ni di kamar.kamu sendiri?bsok q
pulg, bareng yuk.”. Mulailah percakapan lewat pesan yang membuat Mita sejenak
melupa akan letih yang dirasa. Hingga letih mengantar kepada peraduan.
*
* *
Hari
yang melelahkan membuat jalan kota Malang menjadi tambah panas terkena teriknya matahari. Mita mulai tak sabar
menanti angkot yang akan membawanya menuju tanah kelahirannya. Tak lupa ia
menanyakan apakah Adit juga akan pulang. Mereka bertemu di terminal dan bersama
menuju kampung halaman.
Bus
kota menuju Surabaya yang mereka naiki melaju dengan kencang. Sepanjang
perjalanan mereka diiringi dengan tawa dan canda. Hingga sebuah pertanyaan yang
cukup mengagetkan terlontar dari mulut Adit. “Gimana kamu dengan Eric?”
“Hmmm,
aku uda gak ama dia.” Jawab singkat dari Mita.
“Kenapa?”
“Tau
lah. Gak usah bahas tentang dia.” Mita berusaha menghindar.
Suasana
seketika menjadi hening dengan kebisuan mereka. Sejenak Mita ingin Adit bisa
menenangkan ia. Namun perasaan itu ia urungkan. Suasana kaku bergtahan hingga
mereka sampai tempat tujuan. Sampai akhirnya Adit memberanikan diri untuk
berkata. “Besok aku kerumah ya? Kita jalan-jalan kemana gitu. Jangan sedih
terus. masih ada aku kan, sahabatmu ini.”
“Terserah
kamu aja lah. Tapi agak siangan aja, pagi aku sibuk, banyak pekerjaan.”
“Oke
lah. Sampai ketemu besok ya” Sambil berlalu menuju rumahnya.
Meski
terasa kaku perpisahan saat itu. namun, Mita sebenarnya berharap lebih dari
sekedar perkataan Adit itu. Meski dongkol dengan kelakuan Adit ia tak pernah
bisa benar-benar marah kepadanya. Setelah Adit berlalu, Mita pun bergegas untuk
pulang.
*
* *
Tak
terasa hari pun telah berganti. Langit yang cerah menyelimuti pagi itu. Ditemani
pekerjaan rumah sangat banyak Mita menjalani hari itu. Tiba-tiba sesosok lelaki
yang taka sing dalam kehidupan Mita datang kerumahnya. Kaget karena ia tak
menyangka lelaki itu masih berani muncul menemuinya.
Dengan
gemetar sosok lelaki itu berkata “Maafin aku Mit, aku bener-bener hilaf
ninggalin kamu.”
“Terus
kenapa?” jawabnya ketus.
“Jujur
aku masih sayang sama kamu.”
“Kalau
saying kenapa kamu tinggalin aku? Kamu tau betapa sakitnya aku kamu tinggalin
gitu aja? Sekarang dengan enaknya kamu bilang masih sayang.” Jawabnya dengan
emosi.
“Maaf
bila kamu sudah tak percaya sama aku, tapi jujur aku hilaf nglakuin itu. Kalau
memang ada kesempatan lagi untukku. Aku janji gak akan nglakuin kesalahan itu
lagi.”
Eric
sosok lelaki yang sebenarnya tak pernah ia harap untuk datang disaat itu. Lelaki
yang baru meninggalkannya. Tak dapat dipungkiri Mita tak tega melihat Eric
seperti itu. Namun, perbuatannya membuat secuil keraguan muncul dan menakuti
hati Mita.
Fikiran
Mita berkecamuk mendengar perkataan
Eric. Meski dalam hati orang yang sangat ia harapkan untuk ada di sana ialah
Adit. Terlalu lama Mita menunggu Adit, yang tak kunjung berani menyatakan
ketulusan padanya. Dengan sedikit dorongan kepercayaan yang tiba-tiba muncul
akhirnya Mita memaafkan Eric.
*
* *
Waktu
begitu cepat berlalu hingga tak terasa Adit sudah berdiri di depan pintu Mita.
Tak sengaja melihat Erik yang dari pagi telah berada disana. Sedikit ragu
menghampiri hati. Namun segera ia tepis segala keraguan itu dan melangkahkan
kakinya menyusuri halaman untuk menghampiri mereka.
“Hai.”
Sapanya singkat.
“Ada
apa Dit? Tumben kamu kesini?” Tanya Eric.
“Kamu
tuh yang tumben. Kata Mita kamu kemaren.” Perkataan Adit terhenti oleh selaan
Eric. “Iya kemarin aku hilaf mutusin ia.” Sambil melihat Mita. “Tapi sekarang
aku sudah sadar kok, kalau dia tak sepantasnya aku sakiti.”
“Jadi
sekarang.” Adit mencoba mencari kejelasan.
“Iya
aku sudah baikan sama Mita.” Jawab Eic singkat.
“Hmmm.
ya sudah deh, Selamat, jaga dia baik-baik. Aku ganggu gak?”
“Gak
ganggu kok.” Segera Mita menyela pembicaraan itu..
“O
iya, ada apa kamu kesini?” kembali Eric bertanya pada Adit.
Adit
pun akhirnya menjelaskan maksudnya berkunjung ke rumah Mita. Tak lama setelah
itu mereka bertiga pergi menuju sebuah tempat wisata tak jauh dari rumah Mita.
Meski sakit yang dirasakan Adit waktu itu, ia tetap berusaha bahagia melihat
kedua sahabatnya itu baikan.
Suasana
yang sangat membosankan dihadapan Adit waktu itu. tapi ia tak bisa berbuat
apa-apa. kesalahannya juga karena tak segera menyatakan perasaannya kepada
Mita.
*
* *
Hari-hari
terasa begitu cepat berlalu dirasakan Mita. Hingga tak terasa tiba hari
pertunangannya dengan Eric. Bahagia, mungkin itu tak terlalu ia rasakan. Karena
sesungguhnya orang yang paling ia harapkan ialah Adit. Orang yang selalu
menemaninya saat ia sedih. Namun, hingga saat ini tak ada sepatah kata pun dari
Adit tentang perasaannya pada Mita.
Hari
itu Eric datang bersama keluarga besarnya ke rumah Mita. Adit pun ikut karena
ajakan Eric yang tak mungkin berani ia tolak. Meski ia tahu bahwa tak mungkin
ia bisa melihat orang yang ia sayangi bertunangan dengan orang lain.
Menyesal?
Tak mungkin saat itu ia ungkapkan. Karena memang semua merupakan kesalahannya.
Adit hanya bisa tersenyum melihat kedua sahabatnya itu bahagia. Dan hanya
itulah yang sampai saat ini membuat Adit tetap kuat.
*
* *
Terdengar
bel pintu rumah Adit bordering. Segera ia bangun dari tempat tidur seraya
berlari menuju pintu. Kaget ia melihat orang yang ada dihadapannya.
“Baru
bangun Dit?” Sapa Mita seketika menyadarkannya.
“Iya
ni, habis semalem capek banget. Kerjaan numpuk.” Seraya tersenyum kecil.
“Gak
di persilahkan masuk ni aku?”
“Sampai
lupa, iya silahkan masuk.” Seraya menunjuk kursi-kursi yang tertata di ruang
tamu. “Mau minum apa?”
“Gak
usah deh, aku gak akan lama-lama kok.” Sambil mengeluarkan sepucuk undangan
dari tas yang ia bawa. “Hadir ya di acara pernikahan ku?”
“Pasti
aku datang, kamu kan sahabat baik ku. Mana mungkin aku gak datang” jawabnya.
“Jujur
Dit. kamu sayang gak sama aku?”
Terkejut
Adit dengan pertanyaan itu. Hingga ia tak kuasa mengucap sepatah katapun. Bagai
di hujam ribuan pedang tajam ia berusaha tegar. Meski tak dapat ia pungkiri
perasaan yang selama ini ia pendam.
“Kenapa
kamu tanya gitu?” Adit mencoba berkata.
“Aku
tak tahu. Aku hanya ingin bertanya dan memastikan apa yang kamu rasa.”
“Kamu
sudah punya Eric di sampingmu. Dan ia begitu menyayangimu.” Adit yang kala itu
erusaha mengalihkan pembicaraan.
Suasana
menjadi hening. Tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut kedua insan itu.
Hanya diam yang bisa mereka lakukan. Hingga akhirnya Adit masuk dan kembali
membawa dua gelas minuman.
“Silahkan
diminum.” Seraya memberikan minuman yang ia bawa.
“Aku
sayang kamu Dit.” Sebuah kata yang sudah sekian lama terpendam. Akhirnya
mengalir deras dari tak dapat dibendung oleh Mita.
Kembali
Adit hanya bisa terdiam terpaku mendengar perkataan Mita itu. Ia tak tahu harus
berkata apa? Dalam hatinya ia juga menyayangi Mita. Namun, tak mungkin ia
menjawab demikian. Karna hari pernikahan Mita dengan Eric sudah teramat dekat.
Ia tak mau merusak hubungan yang telah terjalin antara mereka.
“Kenapa
kau diam Dit.” Tanya mita mencari kejelasan.
“Aku
tak tahu harus menjawab apa. Kau adalah sahabat baik ku. Dan sebentar lagi kau
juga akan menjadi istri dari seorang yang juga sahabatku.”
“Jadi
apa yang kau rasakan terhadap ku Dit?”
“Bahagialah
Mita, karena kebahagiaanmu akan menjadi kebahagiaanku juga.”
“Kamu
membingungkan ku Dit.” Tak terasa setetes air mata mengalir dari sela-sela mata
Mita.
“Maafkan
aku Mita.” Seraya memberi tisyu pada Mita. “Mungkin memang aku yang salah Mita.
Aku tak pernah berani menyatakan perasaanku padamu. Aku hanya tak ingin merusak
hubunganmu dengan Eric”
“Sudah
lah Dit. Maaf, aku pulang saja.”
“aku
harap kita tetap bisa menjadi sahabat seperti hari-hari yang lalu.”
Mita
pun berlalu dari rumah Adit membawa setumpuk luka kekecewaan. Meskipun ia
sadar, tak sepantasnya calon istri orang menyatakan rasa sayang kepada orang
lain. Meskipun Adit merupakan sahabat yang sudah lama ia kenal.
*
* *
Hari
yang di tunggu akhirnya tiba. Hari dimana Mita akan menikah dengan Eric. Hari
yang akan merubah seluruh kehidupan Mita. Meski dalam hati, Mita masih sangat
mengharapkan Adit yang mendampinginya saat itu.
Adit
datang tepat setelah Ijab Kabul di ucapkan Eric. Dengan segera ia mengucap
selamat kepada kedua mempelai itu. “Jaga Mita baik-baik, jangan kau berani
melukai hatinya.” Sedikit kata mulai berani terucap dari Adit.
“Dan
Mita, bahagialah. Karena kamu memang pantas bahagia. Jangan mencari kebahagiaan
lain. Karena belum tentu kamu akan merasa bahagia lebih dari kebahagiaan yang
kini engkau miliki.”
Sesaat
kemudian Adit berlalu meninggalkan tempat itu. Sembari teriring tetes-tetes
airmata penyesalan yang ia rasa. Bukan karena orang yang ia sayang menikah
dengan orang lain. Namun lebih karena ketidak beraniannya menyatakan rasa
padanya.
*
* *
Terkadang kita harus mengambil
sebuah keputusan berani diantara keraguan-keraguan yang mendera kita. Mungkin
kita takut akan suatu hal, tapi jangan pernah menjadikan itu suatu halangan.
Sesungguhnya kebahagiaan adalah hak
yang senantiasa ada diantara kita. Hanya saja kita terkadang terlalu takut
untuk mengambilnya.
*
* *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar